Wanted

Sejenak membuka jejaring sosial kudapati status dari sebuah harian
garis keras yang isinya seperti ini "DPR dengan Tegas Tolak Hukuman
Mati Bagi Koruptor Sungguh Ironis!
"Hukuman mati kami tolak, selain (karena) melanggar hak asasi manusia,
juga dan secara empiris tidak berhasil tidak efektif untuk menahan
meluasnya korupsi," ujar Benny K Harman, Komisi III-rimanews".
Whatttt!!!!!!!!!! Hak asasi manusia? Bukti empiris? Efektifitas?
Berbicara hak asasi manusia, masih layakkah seseorang yang terbukti
melakukan korupsi mendapat hak istimewa yang bernama Hak Asasi
Manusia? Bukankah sesungguhnya korupsi merupakan salah satu bentuk
kejahatan kemanusiaan? Korupsi menyebabkan kemiskinan, kebodohan,
kelaparan dan berbagai macam bentuk penderitaan manusia lainnya.
Inilah korupsi sebagai kejahatan kemanusiaan. Sekali lagi, layakkah
hak asasi manusia dipertimbangkan dalam menjatuhkan hukuman kepada
koruptor. Tidak sama sekali!!!
Bukti dan efektifitas hukuman mati dalam menahan meluasnya korupsi
masih diragukan. Ingat, kegagalan sesungguhnya adalah ketika kita
tidak berani mengambil langkah. Tidak ada yang salah dengan mengambil
alternatif-alternatif yang ada. Yang salah adalah ketika alternatif
telah tersedia namun tidak berani mengambil alternatif tersebut. Jika
memang demikian yang ada maka jangan harap korupsi akan tuntas
diberantas.
Or this country need "the hand of God, the gun of fate"? The ones who
will kill one to save many. May be…

Pelayan Masyarakat vs Pejabat

Hari ini ada insiden kursi pesawat yang melibatkan seorang wakil
rakyat. Namun hal yang menarik justru bukan kejadian itu sendiri. Ada
sebuah komentar yang cukup menyita perhatian ketika aku mencari
informasi tentang insiden itu. Kurang lebih isinya seperti ini,
"disini namanya pejabat, tetapi diluar sana adalah civil servant. jauh
banget maknanya.".
Lantas aku berpikir sejenak, memang demikian adanya di negeri ini
bahwa orang yang bekerja untuk pemerintah di sebut pejabat. Entah
maksud dari pemakaian kata itu apa aku belum cukup terinformasi. Mulai
dari pegawai berpangkat rendah pun sudah disebut pegawai. Sebagaimana
yang disebut dalam undang-undang yang mengatur tugas pokok dan fungsi
direktorat-ku pun, pegawai rendah macam aku disebut sebagai pejabat.
Tak heran jika pegawai yang lebih tinggi posisinya sudah pasti disebut
pejabat demikian pula untuk posisi-posisi politis seperti presiden,
kepala daerah dan anggota dewan sudah barang tentu memakai istilah
pejabat.
Jika dibandingkan istilah "pelayan masyarakat" maka akan sangat
berbeda jauh maknanya dengan istilah "pejabat". Hal ini sedikit banyak
pasti akan mempengaruhi kepribadian dari orang yang menyandang istilah
tersebut. Ketika istilah "pelayan masyarakat", besar kemungkinan
penyandang istilah itu akan berorientasi sebagaimana istilah yang dia
sandang ketika dia bekerja. Walaupun pada akhirnya tetap kembali
kepada kepribadian masing-masing. Sama halnya jika seseorang
menyandang istilah pejabat, besar kemungkinan orientasinya akan lebih
kepada istilah yang dia sandang bukan kepada tugas pokok dan fungsi
dari istilah yang dia sandang tersebut. Biasanya dalam istilah yang
disandang tersebut memiliki hak atau keistimewaan tertentu yang
berbeda dengan masyarakat kebanyakan. Namun sesungguhnya hak dan
keistimewaan tersebut bukan dalam rangka penghormatan tetapi dalam
rangka mempermudah pelaksanaan tugas pokok dan fungsi dari istilah
yang disandang tersebut. Pada akhirnya muncul pandangan bahwa pejabat
adalah orang yang harus dihormati dan diberi keistimewaan, bukan
sebagai pelayan masyarakat.
Pandangan ini tidak lepas dari pengaruh budaya feodal yang memang
sudah lama ada dalam budaya kita, dimana raja dan bangsawan atau dalam
dunia modern adalah pejabat dan birokrat adalah orang yang harus
dihormati dan berhak atas keistimewaan.
Lalu, mana yang ingin anda pilih? Menjadi pejabat atau pelayanan
msyarakat? Semua tergantung orientasi anda dalam mengabdi kepada
negara.

Earth Hour 2011

Lampu kamar dan teras telah dimatikan. Alat elektronik yang tidak
digunakan pun telah dicabut dari stop kontak. Netbook-pun hanya
menggunakan baterai sebagai sumber dayanya. Ya, malam ini adalah malam
event Earth Hour 2011.
Kita, generasi yang hidup dimasa ini harus berterima kasih dan
bersyukur atas kemudahan dalam mencari dan memanfaatkan energi dalam
mendukung kehidupan sehari-hari kita. Rasa syukur harus kita wujudkan
dengan memanfaatkan sumber daya yang ada secara efektif dan efisien
apapun bentuk sumber daya itu.
Earth Hour yang ditandai dengan mematikan lampu selama satu jam pada
puncak pemakaian (pukul 20.00 sampai 21.00) hanya bagian kecil dari
wujud pemanfaatan sumber daya. Kita harus menyadari bahwa semua sumber
daya yang ada harus kita manfaatkan dengan baik dan jangan ada
pemborosan sebab sumber daya tersebut sesungguhnya terbatas.
Harapan dari Earth Hour adalah dengan kita bisa melakukan hal yang
sederhana ini maka kita pasti bisa juga melakukan sebuah tindakan yang
lebih berguna lagi untuk bumi tempat tinggal kita.
Earth Hour 2011, demi anak cucu kita, demi bumi tercinta.

To My Dear Leonhart

Hampir sebulan lamanya ayah tidak melihat wajah tampanmu. Ayah yakin
kamu sudah semakin besar dan pintar. Sebagaimana bunda sering cerita
ke ayah tentang keseharianmu lengkap dengan foto-foto lucumu bersama
bunda maupun ketika beraksi sendiri.
Ayah selalu menanti kabar tentangmu melalui SMS, email maupun phone
call dari bunda. Ayah juga selalu kau buat bahagia ketika membuka
email yang dilampiri foto kamu yang lucu dan menggemaskan.
Semua SMS, email dan phone call adalah pengobat rindu bagi ayah.
Ketika sedang tak ada kabar darimu dan bunda, ayah membuka foto-foto
lama yang telah bunda kirim serta memutar kembali video-video yang
telah ayah rekam ketika ayah ada disisimu.
Straighten up little soldier…Stiffen up that upper lip…
Daddy's with you in your prayers…No more crying…
Wipe them tears…Daddy's here…
No more nightmares…

-Jakarta's suburban, 20 minutes before 2011 Earth Hour-

Jangan Diam

Ketika kita dihadapkan pada suatu obyek (keadaan, peristiwa maupun
orang) yang tidak sesuai dengan apa yang menjadi prinsip kita maka
secara umum kita memiliki 4 pilihan sebagai bentuk respon terhadap
keberadaan obyek tersebut.
1. Lari/Pergi—->menjauhi obyek tersebut. Bersifat menghindar
2. Acuh—->menganggap obyek tersebut tidak ada
3. Setia/Diam—->tidak bersikap apapun atau dengan kata lain
mengakomodir keberadaan obyek tersebut
4. Bicara/Bersikap—->mengungkapkan apa yang tidak sesuai dengan
prinsip dan berharap setelah adanya pernyataan sikap maka obyek yang
mengganggu itu akan berubah.

Keempat cara tersebut memiliki efektivitas yang berbeda-beda dalam
mengharmoniskan hubungan kita dengan suatu obyek yang mengganggu. Ada
dua hal yang perlu dipertimbangkan sebelum mengambil keputusan sikap
mana yang akan diambil.
Pertama, prinsip yang harus dipegang adalah "Control what you can
control". Kita harus bisa memperkirakan apak obyek tersebut masih
dalam jangkauan pengendalian kita? Jika iya maka boleh kita memilih
bentuk respon yang bersifat menghadapi langsung yaitu dengan
bersikap/berbicara. Namun jika kendali sudah diluar jangkauan maka
hendaknya kita memilih respon yang bersifat menghindar.
Kedua, jika kita memilih respon aktif (lari atau bicara) maka yang
perlu dipertimbangkan berikutnya adalah efektifitas dari langkah yang
akan kita ambil. Jangan sampai justru merugikan kita secara
signifikan. Selain itu juga dipertimbangkan mengenai bagaimana cara
melakukannya. Perlu kiranya melakukan respon tersebut dengan memegang
prinsip-prinsip yang kita yakini. Sebab bukan berarti ketika kita
tidak cocok dengan suatu obyek lantas kita melepas prinsip-prinsip
kita saat bersikap, justru pada saat kita merespon aktif suatu obyek
maka prinsip kita sedang diuji ketahanan dan konsistensi-nya.
Namun, dari empat respon tersebut akan lebih baik kita memilih
respon-respon yang bersifat aktif yang dipertimbangkan terlebih dahulu
dan dilaksanakan dengan elegan/sesuai prinsip yang kita yakini.

Choki-choki..oh..Choki-choki…

Sudah hampir 3 minggu stok choki-choki masih belum habis. Padahal pada
perputaran sebelumnya rata-rata habis dalam 4-6 hari. Apakah selera
pasar yang berubah? Atau ada hal lain yang pasar hindari dari produk
itu? Untung sejak seminggu lalu aku sudah menambah line-up produk
yaitu Wafer Roma Superman. Lumayan juga respon dari pasar. Cukup untuk
menggantikan choki-choki yang tidak jelas nasibnya. Alhasil sekarang
Choki-choki mulai tergantikan oleh Wafer Roma Superman. Well then,
this is why i love trading…

Sakit, Izin, Alpa

Istriku mengirim sebuah link untuk aku baca pagi ini. Sebuah note
tentang pengalaman pemberian obat secara rasional. Aku dan istri
termsuk orang yang kritis dalam menyikapi sesuatu. Kami akan mencari
banyak sumber dan referensi sebelum kami memutuskan mengambil langkah.
Ketika separuh kubaca note tersebut, aku menemui kata yang dulu sering
aku lihat ketika masih duduk di bangku SD. Kata itu adalah "Alpa".
Alpa yang artinya lupa, lewat (cek saja di Kamus Besar Bahasa
Indonesia, kurang lebih seperti itu). Pikiranku lantas terbang ke masa
SD. Masa dimana aku sering mendengar kata itu serta melihatnya di
simbolkan dengan huruf "A".
Di SD dulu, setiap kelas memiliki papan absen yang terbuat dari papan
lapis tipis bercat hitam. Di papa itu tertuliskan "Papan Absensi".
Dibawahnya ada isian (kalo tidak salah ingat) kelas berapa, jumlah
murid berapa, kemudian ada tabel yang terdiri dari empat kolom yaitu
nomor, nama, sakit, izin, alpa. Untuk keterangan sakit, izin dan alpa
cukup dilambangkan dengan huruh "S", "I", "A". Kemudian dibagian bawah
ada isian nama wali/guru kelas.
Ketua kelas berkewajiban mengisinya ketika ada yang tidak masuk kelas
kemudian wali/guru kelas akan menanyakan kepada Ketua kelas pada saat
kelas dimulai.
Masih adakah papan itu? Entah…

Susu Formula sampai Imunisasi , dari Gedung J ke Tempat Parkir

Kuliah selesai lebih awal dari jadwal karena materi telah habis, jadi
tinggal menyiapkan diri untuk latihan. Kelas pun usai.
Aku berjalan menuju parkir bersama dua orang teman yang kebetulan
sama-sama baru saja menjadi ayah.
Entah bagaimana awalnya aku mendengar salah satu bertanya kepada yang
lain, "Kalau malam masih begadang menemani bayimu?"
Yang lain menjawab, "tidak juga, sekarang sudah mulai teratur
tidurnya. Cuma kadang tidurnya tidak nyenyak, terbangun karena lapar
mungkin."
Teman tadi bertanya lagi,"ASI kan?"
Kemudian dijawab,"Iya, tapi kadang dicampur sama susu formula karena
kayaknya masih kelaparan sampai tidurnya tidak nyenyak dan walau sudah
dikasih ASI-pun kayaknya masih kurang. Aku dulu kecil juga susu
formula, sampai sekarang juga baik-baik saja."
Dari tadi aku hanya mendengarkan dengan seksama percakapan dua ayah
muda tersebut.
Aku menduga pembicaraan ini akan sampai pada persoalan imunisasi pada anak.
Kemudian apa yang aku duga menjadi nyata.
Teman tadi kembali membuka pembicaraan,"Nanti bakalan rewel lagi ketka
imunisasi."
Kurasakan perasaan kurang nyaman teman yang lain untuk
menanggapinya,"Aku tidak imunisasi anakku."
"Kenapa?", buru teman yang bertanya tadi.
"Ya karena tidak sesuai dengan yang aku yakini. Panjang kalau aku
cerita. Belum tentu itu sesuai bagi setiap orang. Kamu cari di
internet sumber-sumber tentang imunisasi." jelas teman yang lain tadi.
"Berbagilah kawan, kalau ada yang tidak aku mengerti." tukas teman
yang bertanya.
Cuma dijawab dengan anggukan.
Tanpa terasa kami tiba di tempat parkir.

Long Way Round dan By Any Means

Hari ini seorang kawan berpamitan untuk pindah kos karena sudah
ditempatkan di Purwakarta. Barang-barangnya sudah berangkat duluan.
Tinggal dia dan satu ransel serta skuter Vespa kesayangannya.
Candaku saat dia berpamitan, "Long Way Round atau By Any Means?"
Dia langsung menjawab dengan bercanda pula :"Long Way Round
dong…kalo By Any Means masa tar Vespa-ku ditinggal dijalan trus
gonta-ganti sarana transport?hahahaha…."
Akupun ikut tertawa mendengar jawabannya.
Sebenarnya ingin aku mengantarnya berangkat ke Purwakarta yang kurang
lebih ditempuh dalam 5 jam. Namun sayang harus urung karena satu dan
lain hal.
See you, my friend..my brother…

Life is choice

Dosen manajemen keuanganku beberapa waktu kemarin mengenalkan beberapa
prinsip dalam manajemen keuangan. Salah satunya adalah Risk Return
Trade-off. Resiko dan pengembalian akan selalu berjalan berdampingan.
Ketika kita mengambil resiko tinggi maka kita pasti secara normal akan
meminta pengembalian yang tinggi pula. Begitu pula sebaliknya, jika
kita hanya mengambil resiko kecil maka jangan berharap pengembalian
yang besar. Hal ini terkait dengan Risk Profile kita, apakah seorang
Risk Taker ataukah seorang Risk Averse.
Semua ini kembali kepada pilihan masing-masing. TIdak ada mana yang
benar dan yang salah. Yang salah adalah ketika kita mengambil resiko
atas hal yang sudah pasti merugikan atau malah tidak mengambil pilihan
yang sudah pasti menguntungkan.
Demikian pula dengan hidup. Akan selalu ada pilihan-pilihan yang akan
dihadapi. Mulai dari yang sederhana sampai dengan yang rumit hingga
memusingkan kepala. Semua tidak lepas pula dari prinsip Risk Return
Trade-off. Kadang ada beberapa orang yang berani mengambil pilihan
berisiko dalam hidupnya dan tentunya berharap akan pengembalian yang
lebih besar pula. Bukan dalam arti materi, namun lebih kepada kepuasan
yang kita rasakan ketika berhasil lewat dari lubang jarum. Namun ini
semua kembali kepada Risk Profile masing-masing dalam menjalani hidup.
Because life is full with choice.